REVITALISASI KESENIAN "DULMULUK" SEBAGAI NILAI BUDAYA MASYARAKAT PALEMBANG

1. Latar Belakang.
Seni pertunjukan “Dulmuluk” di Palembang seperti halnya seni pertunjukan yang berkembang di Jawa seperti ketoprak, ludruk, dan lenong betawi merupakan teater tradisional. Hal-hal yang umumnya melekat pada teater tradisional ialah menceritakan cerita tradisional, penggarapannya secara tradisional, pelakon sudah tua-tua karena tidak ada regenerasi juga sangat kental melekat pada eksistensi “Dulmuluk” di Palembang. Dengan tata cara dan tata kelola seperti itulah yang menyebabkan seni pertunjukan “Dulmuluk” semakin hari terlupakan di masyarakat Palembang. Padahal bagaimanapun seni pertunjukan “Dulmuluk” memiliki fungsi kebermanfaatan (useful). Mengingat fungsi kebermanfaatan, perlu upaya pemertahanan terhadap keberadaan seni pertunjukan “Dulmuluk”. Dapat dikatakan bahwa selama ini seni petunjukan “Dulmuluk” merupakan seni pertunjukan yang tidak mengarah kepada industri yang kreatif.
Ada berbagai alasan mengapa seni pertunjukan “Dulmuluk” tidak mengarah kepada industri yang kreatif dan oleh karenanya ditinggal oleh masyarakatnya. Seni pertunjukan “Dulmuluk” ibarat macan yang kehilangan taringnya. Orang melupakan “Dulmuluk” bukan hanya disebabkan oleh semakin derasnya budaya pop dan kecanggihan teknologi melainkan juga disebabkan oleh ketiadaan manajemen organisasi dan ketiadaan manajemen pementasan. Manajemen organisasi yang dimaksud ialah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian atau pengawasan. Selain itu, grup yang ada kurang melakukan pengarahan, kurang melakukan pengembangan pemain (pemain sudah tua-tua), dan kurang melakukan peningkatan motivasi bagi pemain-pemain yang termasuk dalam grup tersebut. Terakhir, pada aspek pengendalian atau pengawasan kurang dilakukan yakni peninjauan terhadap hasil yang telah dilaksanakan dan tindakan koreksi kepada pemain-pemain “Dulmuluk” itu sendiri. Seperti dikemukakan di atas, kondisi ideal yang diharapkan adalah kelestarian seni pertunjukan “Dulmuluk” sebagai identitas daerah Palembang tetapi ternyata semakin pudar dan tak bertenaga.
Seni pertunjukan “Dulmuluk” merupakan salah satu bentuk kesenian yang terpinggirkan dalam masyarakat kota yang cenderung hedonis. Keberadaannya seperti pepatah yang mengatakan “Hidup segan mati tak mau.” Beberapa faktor krusial seperti menceritakan cerita tradisional dan penggarapannya secara tradisional yang menyebabkan seni pertunjukan “Dulmuluk” hampir terlupakan di masyarakat Palembang. Dulu terdapat 38 grup “Dulmuluk” yang hidup di Palembang dan dewasa ini tercatat hanya 5 grup yang masih hidup. Kelima grup itu pun personilnya hampir sama atau orang yang sama dan tidak ada regenerasi dan pembaharuan dalam seni pertunjukan “Dulmuluk” tersebut. Jika hal ini dibiarkan berlanjut, bukan mustahil seni pertunjukan “Dulmuluk” hanya akan menjadi sebuah sejarah seni budaya rakyat Palembang yang pernah hidup lalu tenggelam dilupakan masyarakatnya sendiri.
Pada sisi lain sebagai bentuk kesenian, seni pertunjukan “Dulmuluk” memiliki manfaat dalam berkehidupan. Bahkan di masa penjajahan Jepang seni pertunjukan “Dulmuluk” mendapat tempat yang demikian penting sebagai alat propaganda Jepang kala itu. Selain itu, salah satu manfaat yang dapat dipetik ialah adanya nilai-nilai dalam rangka pembentukan karakter bangsa yang sedang menjadi isu penting. Pada aspek penyutradaraan belum dilakukan secara optimal. Penampilan teater “Dulmuluk” secara umum masih belum optimal juga. Jenis cerita yang ditampil kurang variatif, pemainnya sudah tua-tua, tata busana yang digunakan dalam penampilan “Dulmuluk” kurang menunjang karakter pemain, tata rias wajah pemain kurang memperkuat karakter pemain, tata lampu tidak bervariasi, tata pentas yang tidak ada, tata suara tidak menggunakan sound system yang mendukung. Inilah akar permasalahan penyebab utama “Dulmuluk” ditinggalkan oleh penontonnya. Oleh sebab itu disarankan agar adanya upaya pemertahanan seni pertunjukan “Dulmuluk” melalui proses pengembangan “Dulmuluk” kepada generasi muda dan pembinaan “Dulmuluk” kepada grup-grup “Dulmuluk” yang ada di Palembang. Dalam rangka pemertahanan “Dulmuluk” antara lain melalui konsep strategis yang dapat merevitalisasi seni pertunjukan “Dulmuluk” lewat jalur pembinaan kepada generasi muda atau upaya regenerasi. Dengan demikian, perlu adanya revitalisasi budaya lokal ini melalui pemberdayaan generasi muda. Upaya revitalisasi seni pertunjukan “Dulmuluk” merupakan upaya pemertahanan eksistensi kesenian tradisional “Dulmuluk” kepada generasi muda. Revitalisasi perlu segera dilakukan karena seni pertunjukan “Dulmuluk” telah hampir punah.
2. Masalah
Adapun permasalah dari penulisan ini adalah tentang bagaimana upaya untuk merevitalisasi seni pertunjukan “Dulmuluk” sebagai bagian dari nilai budaya masyarakat Sumatera Selatan khususnya daerah Palembang
3. PEMBAHASAN
3.1. Geografis Sumatera Selatan
Provinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya, pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika. Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri China. Pada awal abad ke-15 berdirilah Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang sebagai Kota Kerajaan. Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati setiap tahunnya.
Secara geografis terletak antara 1 derajat sampai 4 derajat Lintang Selatan dan 102 derajat sampai 106 derajat Bujur Timur dengan luas daerah seluruhnya 87.017.41 km². Batas batas wilayah Provinsi Sumatera Selatan sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Jambi, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Bangka Belitung, sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu. Secara topografi, wilayah Provinsi Sumatera Selatan di pantai Timur tanahnya terdiri dari rawa-rawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasinya berupa tumbuhan palmase dan kayu rawa (bakau). Sedikit makin ke barat merupakan dataran rendah yang luas. Lebih masuk kedalam wilayahnya semakin bergunung-gunung. Disana terdapat bukti barisan yang membelah Sumatera Selatan dan merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 900 - 1.200 meter dari permukaan laut. Bukit barisan terdiri atas puncak Gunung Seminung (1.964 m), Gunung Dempo (3.159 m), Gunung Patah (1.107 m) dan Gunung Bengkuk (2.125m). Disebelah Barat Bukit Barisan merupakan lereng. Provinsi Sumatera Selatan mempunyai beberapa sungai besar. Kebanyakan sungai-sungai itu bermata air dari Bukit Barisan, kecuali Sungai Mesuji, Sungai Lalan dan Sungai Banyuasin. Sungai yang bermata air dari Bukit Barisan dan bermuara ke Selat Bangka adalah Sungai Musi, sedangkan Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Kelingi, Sunga Lakitan, Sungai Rupit dan Sungai Rawas merupakan anak Sungai Musi. Palembang adalah ibu kota provinsi Sumatera Selatan, memiliki luas wilayah 358,55 km yang dihuni 1,7 juta orang dengan kepadatan penduduk 4.800 per km². Di dunia Barat, kota Palembang juga dijuluki Venice of the East ("Venesia dari Timur").
Kota ini dianggap sebagai salah satu pusat dari kerajaan Sriwijaya. Serangan Rajendra Chola dari Kerajaan Chola pada tahun 1025, menyebabkan kota ini hanya menjadi pelabuhan sederhana yang tidak berarti lagi bagi para pedagang asing. Selanjutnya berdasarkan kronik Tiongkok nama Pa-lin-fong yang terdapat pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Chou-Ju-Kua dirujuk kepada Palembang. Berdasarkan kisah Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan disebutkan seorang tokoh dari Kediri yang bernama Arya Damar sebagai bupati Palembang turut serta menaklukan Bali bersama dengan Gajah Mada Mahapatih Majapahit pada tahun 1343. Kemudian sekitar tahun 1513, Tomé Pires seorang apoteker Portugis menyebutkan Palembang, telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa yang kemudian dirujuk kepada kesultanan Demak serta turut serta menyerang Malaka yang waktu itu telah dikuasai oleh Portugis. Palembang muncul sebagai kesultanan pada tahun 1659 dengan Sri Susuhunan Abdurrahman sebagai raja pertamanya. Namun pada tahun 1823 kesultanan Palembang dihapus oleh pemerintah Hindia-Belanda. Setelah itu Palembang dibagi menjadi dua keresidenan besar dan pemukiman di Palembang dibagi menjadi daerah Ilir dan Ulu.
Secara geografis, Palembang terletak pada 2°59′27.99″LS 104°45′24.24″BT. Luas wilayah Kota Palembang adalah 358,55 Km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan laut. Letak Palembang cukup strategis karena dilalui oleh jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan antar daerah di Pulau Sumatera. Sungai Musi, sungai sepanjang sekitar 750km yang membelah Kota Palembang menjadi dua bagian yaitu Seberang Ulu dan seberang Ilir ini merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera. Sejak dahulu Sungai Musi telah menjadi urat nadi perekonomian di Kota Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan. Di sepanjang tepian sungai ini banyak terdapat objek wisata seperti Jembatan Ampera, Benteng Kuto Besak, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, Pulau Kemaro, Pasar 16 Ilir, rumah Rakit, kilang minyak Pertamina, pabrik pupuk PUSRI, pantai Bagus Kuning, Jembatan Musi II, Masjid Al Munawar, dll. Jembatan Ampera, sebuah jembatan megah sepanjang 1.177 meter yang melintas di atas Sungai Musi yang menghubungkan daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir ini merupakan ikon Kota Palembang. Jembatan ini dibangun pada tahun 1962 dan dibangun dengan menggunakan harta rampasan Jepang serta tenaga ahli dari Jepang.
3.2. Sejarah dan latar belakang “Dulmuluk”
Teater “Dulmuluk” adalah teater daerah Sumatra selatan yang lahir dan diciptakan di Palembang. Terbentuknya teater ini melalui tahapan yang panjang yang dimulai dari proses yang paling awal sejak pembacaan syair atau tutur, hingga menjadi teater utuh seperti sekarang ini. kata “Dulmuluk” sendiri berasal dari nama pemeran utamanya yang bernama Raja Abdulmuluk Jauhari. Kesenian ini dibawa oleh seorang pedagang keliling yang masih mempunyai darah keturunan Arab yang bernama Wan Bakar ke kota palembang dengan sistem perdagangan. Dulunya pada 1954 Wan Bakar bertempat tinggal di kampung tangga takat ( 16 ulu ) palembang. Pria yang mempunyai nama lengkap Shecj Ahmad Bakar ini sering sekali melakukan perjalanan berdagang ke Singapura, Negri Johor Malaysia,kepulauan Riau, dan pulau Bangka, Ia menyebarkan syair “Dulmuluk” dari mulut ke mulut menceritakannya kepada satu persatu masyarakat atau para sahabatnya yang datang dan bertamu ke rumahnya, sedangkan dagangan yang ia jual yaitu rempah rempah dan hasil hutan untuk di jual di kepulauan Riau, Singapura, dan Malaysia, dan kemudian dari Singapura dan Malaysia Ia membawa barang dagangan berupa tekstil,keramik,dan barang - barang antik untuk dijual di kepulauan Riau, Bangka, dan Palembang, selain ia membawa barang dagangan, Ia juga membawa kitab - kitab bacaan yang berisikan hikayat baik dalam bentuk syair maupun cerita biasa untuk keperluan sendiri, dan diantara kitab - yang ia bawa terdapat kitab syair Abdulmuluk yang di bawa dari singapura dalam tuliasan huruf melayu atau yang sering di sebut tulisan Arab gundul, sedangakan syair Abdulmuluk ini sendiri di karang oleh seorang wanita yang bernama Saleha yaitu adik perempuan dari Raja Ali Haji Ibn Raja Achmad Ibn yang di pertuan muda Raja Haji FiSabilillah yang bertahta di Negri Riau pulau penyengat Indra sakti pada abad ke19. ternyata kisah raja Abdulmuluk ini berangsur angsur tersebar keseluruh penjuru kota palembang dan sangat di gemari oleh masyarakat. karena ketertarikan tersebut maka akhirnya seluruh masyarakat yang yang mengemari “Dulmuluk” berkumpul dan membuat persatuan pecinta “Dulmuluk”. semakin hari jumlah anggota persatuan ini semakin bertambah dan akhirnya tersebar ke seluruh sumatra bahkan ke eropa. Berangsur - angsur waktu berjalan akhirnya tercetuslah ide dari para pencinta Syair “Dulmuluk” untuk menjadikan syair tersebut suatu pertunjukan atau pagelaran, dan akhirnya pagelaran pertama kali “Dulmuluk”pun terlaksana pada 1910 hingga tahun 1930 adalah bentuk teater “Dulmuluk” yang masih asli, karena setelah tahun 1930 masuklah sandiwara dan bangsawan dari Jawa maka sedikit berpengaruh pada pertumbuhan Teater “Dulmuluk” di Palembang, Dan akhirnya setelah tahun 1942, “Dulmuluk” dimanfaatkan untuk propaganda pemerintah dan disuruh memakai pentas atau panggung. Maka pada waktu itu teater “Dulmuluk” sangat digemari masyarakat. hampir setiap kenduri selalu dimeriahkan dengan pagelaran teater “Dulmuluk” yang diadakan pada malam hari menjelang atau setelah hari persedekahan, pagelaran diadakan semalam suntuk mulai dari pukul 20.30 hingga pukul 04.00 pagi hari nya.
Teater Tradisional “Dulmuluk” mempunyai beberapa ciri ciri yang membuatnya berbeda dengan teater tradisional lain nya, ciri tersebut ialah sebagai berikut :1) Dialognya seringkali mengunakan pantun atau syair; 2) Peranan wanita di perankan oleh laki - laki, atau lebih tepatnya lagi hanya laki - laki yang bermain; 3) Di awal dan di akhir pertunjukan “Dulmuluk” terdapat nyanyian dan tarian yang bernama "Beremas"; 4) Dalam pertunjukan “Dulmuluk”, menampilkan kuda dulumuluk sebagai ciri tersendiri; 5) Adanya tarian dan nyanyian didalam pertunjukan “Dulmuluk” yang di gunakan sebagai simbol, contoh nya seperti saat sedih,senang, marah,atau pun mengungkapkan isi hati biasanya di ungkap kan sambil berdendang dan menari; 6) cerita “Dulmuluk” hanya menceritakan dua syair yaitu syair raja Ab”Dulmuluk” dan syair Zubaidah Siti; dan 7) Sebelum pertunjukan “Dulmuluk” digelar biasanya dilakukan upacara kecil " sesajen " dan pembacaan do'a untuk keselematan/tolak balak.
Teater “Dulmuluk” generasi baru/”Dulmuluk” saat ini memiliki ciri-ciri: 1) Dialog yang digunakan tetap menggunakan syair namun terkadang diplesetkan agar tidak terlalu tegang hingga memunculkan suasana yang lebih akrab pada menonton dan agak humoris; 2) Peranan wanita di perankan oleh wanita, alasan pada zaman dahulu pria memerankan wanita karena memang sulit mengajak wanita untuk ikut dalam pementasan “Dulmuluk” apalagi “Dulmuluk” di pentaskan pada malam hari sampai pagi hari. tapi pada saat ini tidak terlalu sulit; 3) Diawal dan diakhir pementasan “Dulmuluk” tetap ada Beremas namun saat ini lebih dikreasikan dengan gerakan yang lebih menarik; dan 4) Kuda “Dulmuluk” yang di tampilkan lebih dibuat menarik dengan hiasan - hiasan manik - manik dan hiasan menarik lainnya.
3.3. Bagaimana Kabar Seni Pertunjukan “Dulmuluk” Dewasa Ini?
Seni adalah bagian dari kebudayaan. Sebagai bagian dari kebudayaan, sebagai perwujudan keberakalan manusia, seni menjadi bagian kebudayaan yang sangat penting. Salah satu definisi konsep kebudayaan adalah sebagai proses belajar yang besar. Koentjaraningrat (2002) mendefinisikan kebudayaan sebagai seluruh totalitas dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses mempelajari. Sebagai bagian dari kebudayaan, seni mencakup hampir keseluruhan dimensi kehidupan manusia. Peran seni bagi manusia sama seperti peran air bagi ikan. Tanpa air, ikan mati; manusia pun tidak akan menjadi ”manusia” tanpa seni. Sebagaimana air menentukan kehidupan ikan, seni (budaya) menentukan seperti apa kehidupan yang dijalani manusia. Air yang berbeda akan membuat ikan berperilaku beda. Demikian pula, seni yang berbeda akan membuat manusia berbeda.
Sebagai bagian dari budaya yang dimiliki manusia, seni terdiri dari berbagai ragam. Salah satu ragam seni adalah seni daerah. Seni daerah dalam masyarakat Indonesia merupakan suatu khasanah yang dijadikan sebagai kekayaan bangsa. Upaya mempertahankan seni daerah merupakan wewenang sekaligus kewajiban setiap elemen masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki seni daerah tersebut. Hampir setiap masyarakat menginginkan seni daerah tetap bertahan bahkan semakin berkembang. Masalah pemertahanan seni terkait dengan digunakan dan dilestarikan atau tidaknya seni tersebut oleh masyarakat. Artinya, keterkaitan antara peran masyarakat dengan seni yang dimilikinya sangat erat. Oleh sebab itu, pelestarian seni daerah merupakan suatu hal yang harus dilakukan setiap orang atau kelompok orang dengan cara menggunakan atau mengembangkan seni tersebut dalam kehidupan. Pemertahanan seni daerah harus menjadi agenda yang penting bagi pemerintahan daerah atau masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab terhadap khasanah kekayaan bangsanya.
Sebagai salah satu seni daerah di Palembang, seni pertunjukan “Dulmuluk” merupakan “jiwa” masyarakat Palembang yang harus dilestarikan. Sebagaimana yang terjadi pada seni tradisional lain, banyak teater tradisional di Sumatera Selatan yang eksistensinya belum diketahui oleh masyarakat secara umum. Tidak seperti seni pertunjukan yang berkembang di Jawa seperti ketoprak, ludruk, dan lenong betawi, seni pertunjukan “Dulmuluk” merupakan teater tradisional yang dirasakan mulai memudar eksistensinya. Selain itu, seni tradisional ini kurang begitu dikenal, terutama oleh masyarakat di luar Palembang. Hal ini disebabkan pembudidayaan kesenian tradisional tersebut, khususnya seni drama/teater sangat kurang. Seperti hal-hal yang umumnya melekat pada tradisional, seperti menceritakan cerita tradisional, penggarapannya secara tradisional, para pelakon sudah tua-tua karena tidak ada regenerasi, seni tradisional “Dulmuluk” memiliki karakteristik semacam itu. Dengan tata cara dan tata kelola seperti itulah yang menyebabkan seni pertunjukan “Dulmuluk” semakin hari terlupakan di masyarakat Palembang. Padahal, bagaimanapun, seni pertunjukan “Dulmuluk” memiliki fungsi kebermanfaatan (useful). Banyak nilai dan muatan budaya yang dapat digali dari “Dulmuluk”. Banyak pelajaran penting yang dapat diambil dari pertunjukan “Dulmuluk”. Mengingat fungsi tersebut, perlu upaya pemertahanan terhadap keberadaan seni pertunjukan “Dulmuluk”. Apalagi, selama ini seni pertunjukan “Dulmuluk” merupakan seni pertunjukan yang tidak mengarah kepada industri kreatif. Ada berbagai alasan bentuk seni ini tidak mengarah kepada industri kreatif dan oleh karenanya ditinggal oleh masyarakatnya. Inilah yang perlu dikaji lebih mendalam dan, tentu saja, diperlukan solusi terbaik untuk menyelesaikannya.
Pertunjukan “Dulmuluk” sempat berada di puncak kejayaannya pada era 1960-an dan 1970-an. Ketika itu terdapat puluhan kelompok teater “Dulmuluk”. Pertunjukan “Dulmuluk” menjadi tontonan ’wajib’ untuk mengisi berbagai acara seperti perkawinan, khitanan, syukuran saat pertama mencukur rambut bayi atau untuk menyambut kelahiran seorang bayi (Saleh dan Dalyono, 1996:32). Perjalanan “Dulmuluk” terancam ”punah”. Hal ini dapat dilihat dari berbagai alternatif hiburan semakin banyak misalnya televisi dan film layar lebar. Orang yang punya hajat jarang menanggap “Dulmuluk” sebagai tontonan. Siempunya hajat lebih memilih pertunjukkan organ tunggal sebagai hiburan untuk memeriahkan acara. “Dulmuluk” seni teater tradisional yang lahir sejak awal abad 20 itu hampir tidak terdengar keberadaannya. Seniman “Dulmuluk” kebanyakan dari golongan masyarakat ekonomi lemah. Mereka bekerja sebagai buruh perusahaan swasta, pekerja pabrik, pedagang kecil, petani, dan berwiraswasta. Kepandaian mereka sebagai pemain “Dulmuluk” didapat dari orang tua, paman, atau teman lingkungannya. Pelajaran bermain “Dulmuluk” disampaikan secara langsung sebagai pemeran pembantu (awal mulanya) dan dialog diajarkan secara lisan tanpa teks/naskah cerita. Setelah keterampilannya meningkat diberi peran yang lebih besar sampai menjadi pemeran utama. Dalam konsep “Dulmuluk” ini, pemain yang baik ialah pemain yang dapat memerankan tokoh apa saja secara hapal dan spontan. Keterampilan tertinggi dalam seni pertunjukan Seperti dikemukakan terdahulu, dewasa ini hanya 5 grup dari 38 grup “Dulmuluk” yang pernah hidup di Palembang. Ke-5 grup ini juga orang-orang yang bermainnya sama. Yang berbeda hanya nama grupnya.
3.4. Pentingnya Revitalisasi dan Pengembangan Seni “Dulmuluk”
Kondisi kekinian, seperti halnya yang sering ditayangkan di televisi ataupun kondisi-kondisi di sekitar kehidupan masyarakat sangat berkaitan dengan menurunnya kecintaan terhadap budaya lokal. Menurunnya kecintaan terhadap budaya lokal dapat berdampak buruk pada masyarakatnya, khususnya kalangan muda. Di kota-kota besar, bersamaan dengan mengglobalnya budaya modern, generasi muda semakin rentan terhadap nilai, moral, etika, dan agama. Beberapa tindakan tersebut misalnya berupa peniruan budaya asing yang jelas-jelas tidak sesuai dengan kesantunan budaya Timur. Gejala yang paling mengkhawatirkan dari dekadensi moral adalah tindakan destruktif generasi muda, termasuk pelajar. Selain itu, menurunnya budaya yang ditunjukkan anak-anak muda pun turut menentukan permasalahan kehidupan, khususnya dalam ranah pendidikan sebagai pilar pembentuk karakter bangsa. Problematika kebudayaan ini antara lain disebabkan terjadinya penafsiran budaya yang keliru. Ini artinya terjadi miss komunikasi budaya antargenerasi. Padahal, sebagai sistem gagasan yang terdiri dari nilai-nilai, norma, dan aturan, kebudayaan harus dilihat dalam tiga aspek, yaitu proses pembelajaran, konteks, dan pelaku pendukung kebudayaan. Ketiga aspek ini dapat menentukan seberapa besar dan kuat peran kebudayaan dalam membangun kehidupan yang lebih baik.
Berkaitan dengan pertunjukan “Dulmuluk”, seni tradisional ini ibarat macan yang kehilangan taringnya. Dalam kehidupan sehari-hari, budaya asli seperti ini dapat tercabut dari akarnya ketika mendapat pengaruh dari berbagai budaya asing sehingga membuat budaya asli menjadi sesuatu yang aneh dan hanya menempati museum-museum kebudayaan. Permasalahan ini dapat disebabkan pengaruh budaya asing lewat globalisasi yang telah menggeser budaya lokal dan memberi ruang masuknya budaya luar (budaya negara maju) yang lebih besar dan cepat sehingga nilai dan norma yang berkaitan dengan budaya setempat juga mengalami pergeseran, baik akibat asimilasi maupun akulturasi budaya. Seni pertunjukan masyarakat Palembang semakin menurun eksistensinya. Selain jarang ditemukan dalam acara-acara besar atau bergengsi, “Dulmuluk” juga dipengaruhi oleh siapa yang menontonnya, atau lebih tepat siapa yang berkenan menikmatinya. Dari pengamatan penulis, penonton teater “Dulmuluk” berasal dari masyarakat tingkat sosial menengah ke bawah, yakni para pedagang kecil di rumah-rumah, pasar, dan sebagian pegawai negeri golongan rendahan dan pegawai swasta pabrikan. Selain itu, penonton pada umumnya terdiri dari orang-orang yang sudah lanjut usia. Sebagian besar penonton terdiri dari orang-orang yang berpendidikan rendah bahkan terdiri dari anak-anak, yang kemungkinan berpendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Berkaitan dengan pelestarian dan pemertahanan budaya tradisional, “Dulmuluk” tidak dapat dipisahkan dari generasi muda. Ironisnya, “Dulmuluk” yang seharusnya menjadi aset daerah, khususnya di Sumatera Selatan, justru kurang begitu berkembang, terutama dikaitkan dengan pelestariannya di kalangan generasi muda. Sebagai generasi penerus bangsa, generasi muda ternyata tidak begitu memahami pentingnya “Dulmuluk”, bahkan ada beberapa yang tidak mengenal seni pertunjukan ini. Sebagaimana hasil wawancara penulis terhadap beberapa siswa SMA diketahui bahwa mereka tidak pernah selesai menonton teater “Dulmuluk” apabila dipentaskan. Alasannya ialah “Dulmuluk” yang mereka tonton sangat monoton dari aspek cerita yang ditampilkan, tata busana yang digunakan, tata rias, tata pentas, tata lampu, dan tata suara. Keenam hal tersebut bisa jadi menjadi penyebab “Dulmuluk” semakin ditinggal oleh para penontonnya. Kalaupun masyarakat menanggap dan menonton “Dulmuluk” (karena kerinduan mereka terhadap seni peran ini), sulit ditemukan penonton muda di antara penonton yang terbilang tua. Mereka berpendapat bahwa pertunjukan “Dulmuluk” terkesan “kampungan” dan sangat tradisional. Pada satu sisi, mereka merasa perlu mempertahankan “Dulmuluk” sebagai salah satu aset daerah, tetapi pada sisi lain pertunjukan tradisional ini perlu dilakukan upaya revitalisasi dalam berbagai hal. Dalam kaitannya dengan upaya revitalisasi, kesenian “Dulmuluk” dipertunjukkan di tempat-tempat umum atau tempat wisata, seperti di Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Graha Budaya Jakabaring, dan di stasiun televisi, serta di acara-acara hajatan masyarakat. Tapi sayangnya ceritanya masih berkisar tentang kerajaan dengan ciri khas pada pakaian dan alur. Diharapkan untuk lebih berkembang perlu adanya perubahan, seperti isi ceritanya diimprovisasikan dan disesuaikan dengan cerita-cerita pada zaman sekarang.
Berdasarkan hasil penelitian tentang perkembangan seni Dulmuluk diketahui berbagai aspek penyebab “Dulmuluk” ditinggalkan orang. Dalam hasil penelitiannya, Lelawati menjelaskan akar permasalahan mengapa “Dulmuluk” dilupakan orang. Sebagian besar orang melupakan “Dulmuluk” bukan hanya disebabkan oleh semakin derasnya budaya pop dan kecanggihan teknologi, melainkan juga disebabkan oleh ketiadaan manajemen organisasi dan ketiadaan manajemen pertunjukan. Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian atau pengawasan tidak dikelola secara profesional. Grup-grup yang diteliti (5 grup yang masih ada di Palembang padahal dulunya tercatat 38 grup) tidak merencanakan kegiatan secara tertulis, merinci kegiatan, tugas, dan menyusun mekanisme pekerjaan. itu, grup yang ada kurang melakukan pengarahan, kurang melakukan pengembangan pemain (pemain sudah tua-tua), dan kurang melakukan peningkatan motivasi bagi pemain-pemain yang termasuk dalam grup tersebut. Aspek pengendalian atau pengawasan kurang dilakukan. Mereka tidak melakukan evaluasi dan peninjauan terhadap hasil yang telah dilaksanakan terhadap hal yang menyangkut segala hal, terutama yang berkaitan dengan pemain-pemain “Dulmuluk” itu sendiri. Berbagai permasalahan tersebut mengindikasikan bahwa seni pertunjukan “Dulmuluk” merupakan identitas Palembang yang semakin pudar. Seni pertunjukan ini merupakan salah satu bentuk kesenian yang terpinggirkan dalam masyarakat kota yang cenderung hedonis. Keberadaannya seperti pepatah yang mengatakan “Hidup segan mati tak mau.” Beberapa faktor krusial seperti menceritakan cerita tradisional dan penggarapannya secara tradisional, menyebabkan seni pertunjukan “Dulmuluk” hampir terlupakan di masyarakat Palembang. Dulu terdapat 38 grup “Dulmuluk” yang hidup di Palembang dan dewasa ini tercatat hanya 5 grup yang masih hidup. Kelima grup itu pun personilnya hampir sama atau orang yang sama. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada regenerasi dan pembaruan dalam seni pertunjukan “Dulmuluk” tersebut. Jika hal ini dibiarkan berlanjut, bukan mustahil seni pertunjukan “Dulmuluk” hanya akan menjadi sebuah sejarah seni budaya rakyat Palembang yang pernah hidup lalu tenggelam dilupakan masyarakatnya sendiri. Padahal, seperti yang telah disinggung di atas, sebagai bentuk kesenian, seni pertunjukan “Dulmuluk” memiliki manfaat dalam berkehidupan. Bahkan, di masa penjajahan Jepang seni pertunjukan ini mendapat tempat yang demikian penting sebagai alat propaganda Jepang kala itu. Selain itu, salah satu manfaat yang dapat dipetik ialah adanya nilai-nilai budaya luhur dalam rangka pembentukan karakter bangsa yang sedang menjadi isu penting dalam dunia pendidikan kita. Nilai-nilai itu dapat digali dari pesan yang terkandung di dalamnya. Hal demikian, seperti pernyataan Horace, seni (apa pun bentuknya) mengandung sifat dulce et utile (keindahan dan kebermanfaatan).
Berpijak dari fakta-fakta di atas, upaya revitalisasi seni pertunjukan “Dulmuluk” sangat diperlukan sebagai upaya pemertahanan eksistensi kesenian tradisional kepada generasi muda. Revitalisasi perlu segera dilakukan karena seni pertunjukan “Dulmuluk” telah hampir punah karena tidak menjadi sebuah industri yang berasal dari kreativitas senimannya. Upaya revitalisasi seni pertunjukan tersebut dapat dilakukan melalui proses pengembangan yang mengedepankan kolaborasi teori struktural dan respons pembaca. Melalui serangkaian uji coba, baik via jugment ahli sastra maupun sastrawan yang bergerak di bidang seni pertunjukan “Dulmuluk” maupun uji coba lapangan diperoleh model seni pertunjukan “Dulmuluk” yang dapat menciptakan industri kreatif berbasis lokal di Palembang dan Sumatera Selatan. Dari hasil kajian tersebut pula diharapkan akan diperoleh buku seni pertunjukan “Dulmuluk” yang menerapkan pendekatan struktural dan respons pembaca dalam pengembangan sastra yang berbasis lokal.
4. KESIMPULAN
Sebagai salah satu seni daerah di Palembang, seni pertunjukan “Dulmuluk” merupakan “jiwa” masyarakat Palembang yang harus dilestarikan. Sebagai kesenian tradisional, pertunjukan “Dulmuluk” dirasakan mulai memudar eksistensinya. Selain itu, seni tradisional ini kurang begitu dikenal, terutama oleh masyarakat di luar Palembang. Padahal, bagaimanapun, seni pertunjukan “Dulmuluk” memiliki fungsi kebermanfaatan (useful). Banyak nilai dan muatan budaya yang dapat digali dari “Dulmuluk”. Banyak pelajaran penting yang dapat diambil dari pertunjukan “Dulmuluk”. Mengingat fungsi tersebut, perlu upaya pemertahanan terhadap keberadaan seni pertunjukan “Dulmuluk”. Apalagi, selama ini seni pertunjukan “Dulmuluk” merupakan seni pertunjukan yang tidak mengarah kepada industri kreatif. Ada berbagai alasan bentuk seni ini tidak mengarah kepada industri kreatif dan oleh karenanya ditinggal oleh masyarakatnya. Inilah yang perlu dikaji lebih mendalam dan, tentu saja, diperlukan solusi terbaik untuk menyelesaikannya.
Konsep revitalisasi “Dulmuluk” sebagai bagian kebudayaan, mencakupi beberapa hal. Pertama, kebudayaan termasuk di dalamnya seni pementasan “Dulmuluk” adalah sistem nilai yang mengusung peradaban etnik. Artinya, nilai-nilai ini masih relevan dengan konsep bangsa dan harus dipertahankan. Kedua, seni pementasan “Dulmuluk” adalah hasil dari budaya etnik. Kebudayaan etnik adalah bagian dari identitas budaya. Artinya, keberadaannya identik dengan hak asasi yang harus dihormati dan dihayati. Ketiga, “Dulmuluk” sebagai salah satu kebudayaan daerah adalah bagian konsep dan peradaban lokal yang dapat diposisikan dalam memerankan dirinya secara nasional maupun global. Artinya, ini memang harus dipertahankan guna mengoptimalkan perannya, baik dalam ranah nasional maupun global. Keempat, pementasan “Dulmuluk” perlu dimasukkan sebagai bagian dari khasanah budaya lokal yang dilindungi, dilestarikan, dikembangkan, dan dibina secara riil dan de facto oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah, sebagai pemilik kebijakan pengembangan kebudayaan lokal. Kelima, konsep pengembangan seni “Dulmuluk” perlu dilengkapi dengan rencana dan kebijakan strategis dengan sasaran yang jelas, realistis, dan benar-benar dapat dicapai. Agar kebijakan pengembangan dan pelestarian kebudayaan daerah dapat tersosialisasikan secara nasional, perlu ditunjang lembaga khusus yang menangani masalah-masalah kebudayaan di setiap daerah.
Pada hakikatnya telah dilakukan upaya dari pemerintah daerah dengan berbagai sarasehan dan penyebaran . Akan tetapi, upaya yang dilakukan tersebut belum membuahkan hasil. Salah satu kuncinya ialah tidak adanya regenerasi dan revitalisasi dalam seni pertunjukan “Dulmuluk”. Bila kondisi ini tetap berlanjut, seni pertunjukan “Dulmuluk” hanya akan tinggal sejarah. Oleh sebab itu, upaya praktis dan nyata perlu dilakukan dengan merancang dan mengembangkan seni pertunjukan “Dulmuluk” yang dilakukan oleh generasi muda. Selain itu, upaya pembinaan kepada grup-grup “Dulmuluk” yang ada di Palembang serta pagelaran “Dulmuluk” pada tingkat provinsi (tahun ke-2) merupakan langkah strategis yang melibatkan masyarakat yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
“Dulmuluk”-Seni Budaya Sumatera Selatan. 2011. Diakses dari www.kidnesia.com pada tanggal 29 Januari 2011.
Igama, R. 2009. “Dulmuluk” yang Berusaha Hidup. Diakses dari www.beritamusi.com pada tanggal 26 November 2009.
Riantiarno, N. 2011. Kitab Teater. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Saleh, A. & Dalyono, R. 1996. Kesenian Tradisional Palembang: Teater “Dulmuluk”. Proyek Pembinaan dan Pengembangan Kesenian Tradisional Palembang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOAL PILIHAN GANDA KELAS XI TENTANG PERLAWANAN BANGSA INDONESIA MELAWAN KOLONIALISME EROPA

Teknik Penilaian Sikap, Pengetahuan dan Keterampilan dalam Kurikulum 2013 (K-13) Tahun 2018

KUMPULAN SOAL PILIHAN GANDA ( LOTS DAN HOTS) TENTANG RESPON INTERNASIONAL TERHADAP KEMERDEKAAN INDONESIA